
Tanjakan 13, Kuningan City Mall

Langit Jakarta di
sore hari seakan siap menangisi bumi. Puluhan awan kelabu telah menggantung rendah
mendekati daratan seolah menyimpan banyak sekali cerita yang belum sempat
diucap. Tatapan mata saya yang terbentang luas melihat pemandangan yang sangat
khas di kota ramai ini. Ya, puluhan atap yang saling merekat satu sama lain
seakan – akan mereka saling menguatkan untuk bertahan. Di balik itu, berdiri
sebuah gedung – gedung megah yang sedang berlomba – lomba sejauh mana mereka
dapat menyentuh langit.
Saya berhenti sejenak, mengamati begitu kontrasnya sebuah foto lanskap
di tangan ini. Seperti melihat terdapat dua dunia yang sangat berbeda di dalam
satu foto tersebut. Satu bergerak begitu cepat hanya menggunakan sebuah kabin
tertutup yang bergerak naik turun di dalam sebuah poros khusus. Sedangkan di
sisi lain, begitu banyak lorong – lorong yang bertahan setiap hari dengan sempitnya
poros itu.
Foto ini bukanlah sebuah makna dari gedung kaca dan rumah padat
saja, tapi aku menanggapinya sebagai sebuah cerminan. Jelas sekali di
kacamataku, ini merupakan sebuah realita kota besar dengan tempat mimpi – mimpi
tinggi itu bertemu dengan sebuah kenyataan keras dibalik itu. ketimpangan ini
tidak bisa disembunyikan hanya dengan sebuah gedung mewah ataupun jalan tol
yang bertingkat.
Tapi inilah sebuah kejujuran. Inilah fakta sebenarnya dari Jakarta. Kota ini tidak pernah berpura – pura. Jakarta begitu menunjukkan kepada siapa pun yang melihatnya: bahwa perjuangan untuk hidup berdampingan meski itu terasa sangat menjanggal. Bagi saya, ini adalah sebuah pengingat. Pengingat bahwa ketika kita berbicara tentang kehidupan, jangan lupakan siapa yang hidup di bayangannya.
Tulisan ini kupersembahkan untuk teman terbaik Saya, yang telah mempersilahkan dengan hangat mengabadikan momen ini bersama, sebelum ia berkelana dengan karsanya.
Komentar
Posting Komentar